Rabu, 09 Januari 2013

Bahasa Bugis


Teman saya dan saya sebenarnya sudah hampir frustrasi belajar bahasa Arab. Itu disebabkan karena rumitnya kosa kata bahasa arab yang sangat kaya dengan makna. Arti sebuah kata dalam bahsa arab dapat berbeda, walau hanya sekadar perubahan satu huruf atau bahkan perubahan bunyi, meskipun dibentuk oleh huruf yang sama. Misalnya kata “anta” dan “anti” jelas, dibentuk oleh huruf yang sama, tetapi keduany memiliki arti yang berbeda. “anta” hanya benar untuk menunjuk pada laki-laki dan “anti” hanya benar jika menunjuk pada perempuan. Ada pula yang disebut dengan “wazan”, yang menunjukkan perubahan-perubahan sebuah kata berdasarkan pada waktu terjadinya dan bentuk subyek kalimatnya, dan itu jumlahnya sangat banyak. Keunikan itu ditambah lagi oleh struktur tata bahasa arab yang sangat rumit.
Tapi tahukah anda, bahwa bahasa bugis sesungguhnya memiliki beberapa kesamaan dengan bahasa Arab, baik dari segi kekayaan kosa katanya maupun dari segi perbedaan makna kata akibat adanya perubahan bunyi. Bahkan bahasa bugis lebih istimewa, karena di dalam bahasa bugis, beberapa kata tertentu mengalami makna yang berbeda walau diucapkan dengan cara yang sama, tetapi dengan intonasi yang berbeda. Atau bahkan sebuah kata bisa memiliki arti dan Sense yang berbeda jika diucapkan dalam suasana yang berbeda.
Contoh:
Kata “engka” adalah kata dasar yang berarti “ada”. Tetapi jika kata “engka” ditambah dengan akhiran tertentu, maka maknanya bisa berubah. Misalnya, kata “Engka” ditambah dengan akhiran “ni” menjadi Engkani , maka kata “engkani” berarti“ sudah tiba”. Tetapi jika kata Engkani diucapkan dengan memanjangkan huruf “i”, menjadi “Engkaniii”, maka makanya akan berubah, dan umumnya menunjukkan makna“orang yang telah dinanti-nantikan pada saat itu” telah tiba. Namun kata tersebut akan menjadi berubah makna jika diganti menjadi “engkasi”. Kata “engkasi” dapat diartikan“datang lagi” (menunjukkan frekuensi kedatangan yang sudah berulang-ulang sebelumnya, dan yang mengucapkan kata tersebut (mungkin) sudah merasa bosan dengan kedatangan orang tersebut. Maka kata yang digunakan adalah kata “engkasi”, artinya “ datang lagi” (Seolah-olah ingin mengungkapkan bahwa Tadi dia sudah datang, kemarin dia datang, dua hari yang lalu dia datang, maka hari ini, dia juga datang lagi, capek deehh), maka begitu dia muncul diucapkan “Engkasi”
Selain itu, bahasa bugis juga memiliki perubahan kata yang cukup banyak. Satu kata dapat terdiri dari banyak perubahan dengan makna yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya.
Contoh:
Kata “Anre” merupakan kata dasar bagi semua potensi bentuk kata yang dapat ditimbulkannya, karena kata tersebut dapat membentuk kata kerja ataupun kata benda. Contohnya “Manre”, berarti makan (kata kerja). Kata “Manre” pun kemudian dapat memiliki arti yang banyak.
1. Perubahan makna karena tambahan awalan dan akhiran
Manreni = Sedang makan
Manresi = Makan lagi (mengulangi makan)
Manreka’ = Saya sedang makan
Manrepi = Nanti jika sementara makan (tunggu hingga dia sementara makan)
Manretoi = Sementara makan pula
Anresi = Kalimat memerintahkan makan (tetapi dengan nada kurang sopan) = ya..makan lagi (padahal orang menyuruhnya makan karena jengkel)
Pakkanreang = Lauk pauk
Nanrei = dia memakannya
Tanrei = Merupakan kalimat “mempersilahkan makan” dengan cara yang sopan
Nanresi = Dia makan lagi (Dia ulang memakannya)
2. Perubahan karena tambahan akhiran
Anrei = Mempersilahkan makan (tetapi biasanya hanya diucapkan pada orang yang lebih rendah (baik dari segi usia, pangkat, kebangsawanan dsb), dan kesannya kurang sopan.
Atau kalimat menyatakan makian kepada seseorang.
Anreni = Memerintahkan untuk tidak ragu-ragu memakannya. (makan saja)
Anrepi = Kalimat yang menunjukkan kejengkelan karena orang tersebut memakan sesuatu. (siapa suruh kau makan)
Anreka’ = Silahkan memakan saya
Anreko = Menyuruh orang makan dengan cara yang kasar.
Anreang = Piring makan (kata benda)
3. Perubahan karena tambahan awalan
Nanre = Artinya nasi (kata benda)
Manre = Sementara makan
Keunikan bahasa bugis karena setiap kata bahasa bugis tidak memiliki struktur tata bahasa yang baku berlaku bagi semua kata. Akibatnya perubahan setiap kata “hanya” dengan menggunakan “sense” orang bugis saja yang bisa memahaminya dengan baik.
Tidaklah mengherankan, jika hingga hari ini, saya (kita???) belum pernah menemukan buku yang berisi pelajaran tata bahasa bugis. Yang banyak ditemukan adalah sastra bugis yang tertulis dalam lontara.

0 komentar:

Posting Komentar